KOMPAS.com - Ratusan juta pasang mata penduduk seluruh penjuru dunia, Minggu (1/7/2012) malam, tertuju ke Stadion Olympic, Kiev, Ukraina. Dalam kemegahan stadion berkapasitas 70.050 penonton itu, dua tim unjuk kekuatan untuk menjadi yang terbaik di ranah Eropa. Peluh keringat dan sikutan tajam lawan diindahkan demi menunjukkan etika sepak bola yang penuh keindahan.
Pada menit ke-90, angka di papan skor raksasa stadion masih tertulis empat bagi Spanyol dan nol untuk Italia. Perasaan cemas dan putus asa campur aduk dengan kegembiraan dan sukacita di bangku-bangku pendukung kedua belah negara. Menit 90+2, wasit asal Portugal, Pedro Proenca, pun membunyikan peluit. Seiring bunyi siulan panjang itu, jelas bahwa keindahan sepak bola itu bernama "La Furia Roja".
Melalui laga final Piala Eropa 2012 tersebut, Spanyol kembali mengukuhkan diri sebagai tim terbaik di Eropa. Tak tanggung-tanggung, tim sekaliber Italia, tim pemilik tiga gelar juara Dunia, diganyang empat gol tanpa balas. Xavi Hernandez dan kawan-kawan pun membuktikan kepada dunia, permainan "membosankan" yang kerap dikritik sebelumnya kini harus dihormati setiap lawan-lawannya.
"Mereka (Spanyol) terlalu superior, sehingga penyesalan atas kekalahan ini tidak begitu besar. Ketika bertemu tim dengan kekuatan seperti itu, Anda tentu akan bisa lebih bisa menerima kekalahan ini," ujar Kapten Italia, Gianluigi Buffon, usai pertandingan.
"Tiki-taka"
Tak bisa dipungkiri, salah satu kunci sukses keberhasilan itu adalah strategi "tiki-taka" yang diadopsi oleh Spanyol. Laiknya anak kecil yang tengah bersenang-senang sambil memainkan bola dengan operan-operan akurat, bergerak, lalu berlari lincah ke sana kemari, permainan itu jelas terlihat indah. Sebagian menanggap membosankan, namun tak salah untuk dipraktekan dalam sepak bola.
Salah satu contoh dapat kita lihat yaitu performa Barcelona, tim yang mengusung strategi tersebut selama tiga tahun terakhir. Kecerdasan pelatih, Pep Guardiola, meramu filosofi "Total Football" milik Johan Cruyff, membuat "tiki-taka", menjadi senjata yang sulit dilumpuhkan oleh tim mana pun. "Blaugrana" pun sukses menorehkan tinta emas dalam ranah sepak bola.
Jika ditelisik lebih jauh, justru hanya permainan negatif yang dapat mengimbangi strategi tersebut. Lihat saja, bagaimana Chelsea harus menempatkan hampir seluruh pemainnya di barisan pertahanan, untuk mengimbangi Barcelona pada final Liga Champions musim lalu. Chelsea berhasil juara, namun pecinta bola belum tentu puas dengan taktik "parkir bus" milik mereka.
Pun halnya dengan Italia, yang sebenarnya memiliki kemampuan mengimbangi permainan itu dengan taktik khasnya, "Catenaccio". Namun, pelatih Cesare Prandelli, tak memungkiri bahwa strategi negatif itu, bukan pilihan yang diimpikan jutaan rakyat Italia. Apalagi, strategi serangan "anarkisme" yang tak biasa dilakukan Mario Balotelli dan kawan-kawan terbukti ampuh ketika menghancurkan mimpi Jerman di semifinal.
"Kami tidak takut kepada mereka (Spanyol). Kami akan menyerang karena kami lebih kuat dari saat pertemuan pertama (babak penyisihan Grup C di Gdansk), ujar Prandelli sebelum pertandingan.
Sementara, Del Bosque, sadar betul filosofi "anarkisme" itu hanya bisa dilawan dengan keindahan. Diam ketika strategi 4-6-0 miliknya menuai kritik, Del Bosque kemudian membuktikan bahwa prinsip estetika itulah yang justru dapat meredam permainan Italia yang memiliki pemain-pemain bermental petarung dan semangat tinggi, seperti Andrea Pirlo, Antonio Cassano, dan Balotelli.
Gelandang Spanyol, David Silva, Xavi Hernandez, Xabi Alonso, dan Andres Iniesta mampu membius para penggawa Italia sepanjang pertandingan. Pirlo dan kawan-kawan hanya mampu gigit jari melihat harmoni "La Furia Roja" yang berujung pada empat gol yang masing-masing dicetak Silva, Jordi Alba, Fernando Torres, dan Juan Mata.
"Spanyol sangat kuat, dan saya rasa ketika kami berada di level tertinggi, kami dapat bermain lagi melawan mereka. Tetapi jika Anda bermain 10 laga, maka Anda akan kalah enam atau tujuh kali," ucap Gelandang Italia, Daniele De Rossi.
Kini, torehan rekor tim pertama yang menjuarai Piala Eropa dua kali berturut-turut, menjuarai tiga turnamen besar secara berurutan, yakni Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, Piala Eropa 2012 dan kemenangan terbesar dalam final Piala Eropa sejak 1960 silam, adalah bukti nyata keampuhan bahwa "El Matador" adalah sang jawara.
Mereka "memaksa" para pecinta bola untuk tak lagi menyematkan embel-embel negatif pada strategi yang mereka terapkan. Berbalut sejarah keagungan Kota Kiev, Ukraina, permainan negeri asal Semenanjung Iberia itu telah menghadirkan sukacita ribuan umat manusia di dunia. Dunia bisa melihat khitah sepak bola sebagai permainan indah di planet bumi.
Felicitaciones, La Furia Roja!
Via: Keindahan Itu Bernama "La Furia Roja"
0 comments:
Post a Comment